Rabu, 12 Oktober 2022

Membiasakan Asing

 Terlepas dari salahku, aku minta maaf sebesar-besarnya. Terlepas dari salahmu, lebih dulu sudah ku maafkan seihklas-ihklasnya. Kita sama-sama sibuk dan gengsi, hingga lupa tentang bahagia kita yang pernah ada karena hal-hal yang sederhana. Kembali aku mulai mengenang masa baik, waktu baik, kenangan baik dan hal baik lainnya, membenci itu melelahkan dan aku tak akan pernah bisa, apalagi untuk seorang sepertimu. Aku akan mengingatmu sebagai seseorang yang pernah aku banggakan, sebagai seseorang yang menarikku kedalam bahagia sederhana yang kau beri dengan tanpa sadar.




Namun, terkadang aku bingung sendiri. Bagaimana aku bisa benci ketika ingatanku menolak lupa dengan segala kebaikanmu yang pernah ada, menenangkan sekaligus memberikan tawa. Khas intonasi suaramu masih menjadi bayang-bayang khusus dalam ingatan, aku masih ingin menjadi orang yang paling sering kamu temui disetiap lelah atau bahkan tangis ketika kamu mendapati sebuah masalah yang mengusik hatimu, jatuhi saja setiap air matamu sembari bercerita kepadaku tentang bagaimana kejamnya dunia memperlakukanmu. Waktuku masih saja bisa kau ambil dengan percuma, tidak perlu mengisi reservasi kau selalu mendapat akses vvip pada keseharianku, kapan kau akan menelfonku lagi untuk sekedar berbagi kisah harian?.

Jujur sebenarnya aku tidak tahu saat ini aku mencintaimu dengan konsep apa, terlalu biasa untuk disebut cinta fiktif namun juga terlalu berlebihan jika disebut cinta yang terlalu dalam, hal sederhana seperti ini yang sulit terjawab. Namun pertanyataan sederhanana memang harus dijawab dengan sederhana pula, bahwa mencintaimu adalah dengan sangat sempurna, ibu punya pesan sendiri untukku yang katanya berbaik hatilah pada wanita sejahat apapun dia terhadapmu, perlakukan dia sebaik mungkin dan bentuklah dirimu menjadi versi terbaik dalam dirimu untuk membahagiakannya, jika nantinya kamu dihancurkan olehnya setidaknya kamu tetap baik.

Maka itu yang aku pegang sampai sekarang, bukan karena aku tidak bisa jahat tetapi karena pesan dari ibuku yang selalu kupegang, namun maaf untuk ibuku beberapa waktu aku sangat lelah hingga ego memuncak, aku lepas kendali atas ingatan pesan yang kau titipkan, namun setelah momen itu bisa kupastikan kembali aku menjadi pribadi yang baik kembali meski dengan drama yang selalu pandai aku mainkan, bukan karena aku berpura-pura baik terhadap orang lain, namun aku hanya mencoba tetap bersikap baik dengan memegang pesan dari ibu, sebab aku juga tidak boleh jahat sebenarnya karena ada sifat frontal paling ganas dalam diriku.

Siapa bilang aku baik-baik saja? Aku selalu berada dalam kondisi terpuruk, namun bak seperti pantomim professional yang telah memiliki puluhan ribu jam terbang, aku telah terbiasa mengukir tawa diatas derita, hingga setiap orang mengira tidak ada apa-apa dengan diriku. Aku hanya ingin tetap bisa menjadi wadahmu untuk bercerita, sehingga kamu tetap berprasangka bahwa aku baik dalam setiap pikirmu, sehingga kamu merasa lega tiada beban untuk melepas kata demi kata kepadaku.

Berisikmu masih ada, tangismu masih terkenang, keras kepalamu masih menjadi bagian isi kepala. Namun, ragamu sudah menghilang entah kemana. Sadar bahwasanya berbalas pesan setiap waktu belum tentu dia mau menjadi milikmu, menelpon di setiap ingin tidur bukan berarti menjadi masa depan yang terukur, berjuang tanpa kenal pasrah juga bukan berarti cintamu akan dibalas. Kini terserah padamu, jika ingin pergi tolong dengan hilang sehilang-hilangnya. Jika bisa sekalian bawa segala kenangan tentangmu yang tertinggal padaku. Sekarang urutanmu ada dipaling atas dari rasa tidak peduliku.

Aku pamit pergi, tidak perlu khawatir tentang bagaimana aku setelah pergi, bukankah sebelum aku pergi kamu juga sudah begitu seringnya meninggalkanku sesuka hatimu, iya aku telah terbiasa dengan rutinitas yang sering kali kamu buat. Pertemuan memang selalu dirasa singkat bagi jiwa-jiwa yang menikmatinya, lain waktu aku akan mengunjungi tempat-tempat yang pernah aku sambangi bukan untuk mengingatmu atau bahkan bentuk ketidak relaaku atas kepergianmu, namun sebagai sarana diri mendewasakan hati dengan menerima dan mengihklaskan bahwa tempat hanyalah sekedar tempat dan begitu tentangmu juga kini hanyalah sekedar debu yang sejatinya dibersihkan.

 

Share: