Terlepas dari salahku, aku minta maaf sebesar-besarnya. Terlepas dari salahmu, lebih dulu sudah ku maafkan seihklas-ihklasnya. Kita sama-sama sibuk dan gengsi, hingga lupa tentang bahagia kita yang pernah ada karena hal-hal yang sederhana. Kembali aku mulai mengenang masa baik, waktu baik, kenangan baik dan hal baik lainnya, membenci itu melelahkan dan aku tak akan pernah bisa, apalagi untuk seorang sepertimu. Aku akan mengingatmu sebagai seseorang yang pernah aku banggakan, sebagai seseorang yang menarikku kedalam bahagia sederhana yang kau beri dengan tanpa sadar.
Namun, terkadang aku bingung sendiri. Bagaimana aku bisa
benci ketika ingatanku menolak lupa dengan segala kebaikanmu yang pernah ada,
menenangkan sekaligus memberikan tawa. Khas intonasi suaramu masih menjadi bayang-bayang
khusus dalam ingatan, aku masih ingin menjadi orang yang paling sering kamu
temui disetiap lelah atau bahkan tangis ketika kamu mendapati sebuah masalah
yang mengusik hatimu, jatuhi saja setiap air matamu sembari bercerita kepadaku
tentang bagaimana kejamnya dunia memperlakukanmu. Waktuku masih saja bisa kau
ambil dengan percuma, tidak perlu mengisi reservasi kau selalu mendapat akses
vvip pada keseharianku, kapan kau akan menelfonku lagi untuk sekedar berbagi
kisah harian?.
Jujur sebenarnya aku tidak tahu saat ini aku mencintaimu
dengan konsep apa, terlalu biasa untuk disebut cinta fiktif namun juga terlalu
berlebihan jika disebut cinta yang terlalu dalam, hal sederhana seperti ini
yang sulit terjawab. Namun pertanyataan sederhanana memang harus dijawab dengan
sederhana pula, bahwa mencintaimu adalah dengan sangat sempurna, ibu punya
pesan sendiri untukku yang katanya berbaik hatilah pada wanita sejahat apapun
dia terhadapmu, perlakukan dia sebaik mungkin dan bentuklah dirimu menjadi
versi terbaik dalam dirimu untuk membahagiakannya, jika nantinya kamu
dihancurkan olehnya setidaknya kamu tetap baik.
Maka itu yang aku pegang sampai sekarang, bukan karena aku
tidak bisa jahat tetapi karena pesan dari ibuku yang selalu kupegang, namun
maaf untuk ibuku beberapa waktu aku sangat lelah hingga ego memuncak, aku lepas
kendali atas ingatan pesan yang kau titipkan, namun setelah momen itu bisa
kupastikan kembali aku menjadi pribadi yang baik kembali meski dengan drama
yang selalu pandai aku mainkan, bukan karena aku berpura-pura baik terhadap
orang lain, namun aku hanya mencoba tetap bersikap baik dengan memegang pesan
dari ibu, sebab aku juga tidak boleh jahat sebenarnya karena ada sifat frontal
paling ganas dalam diriku.
Siapa bilang aku baik-baik saja? Aku selalu berada dalam
kondisi terpuruk, namun bak seperti pantomim professional yang telah memiliki
puluhan ribu jam terbang, aku telah terbiasa mengukir tawa diatas derita,
hingga setiap orang mengira tidak ada apa-apa dengan diriku. Aku hanya ingin
tetap bisa menjadi wadahmu untuk bercerita, sehingga kamu tetap berprasangka
bahwa aku baik dalam setiap pikirmu, sehingga kamu merasa lega tiada beban
untuk melepas kata demi kata kepadaku.
Berisikmu masih ada, tangismu masih terkenang, keras
kepalamu masih menjadi bagian isi kepala. Namun, ragamu sudah menghilang entah
kemana. Sadar bahwasanya berbalas pesan setiap waktu belum tentu dia mau
menjadi milikmu, menelpon di setiap ingin tidur bukan berarti menjadi masa
depan yang terukur, berjuang tanpa kenal pasrah juga bukan berarti cintamu akan
dibalas. Kini terserah padamu, jika ingin pergi tolong dengan hilang
sehilang-hilangnya. Jika bisa sekalian bawa segala kenangan tentangmu yang
tertinggal padaku. Sekarang urutanmu ada dipaling atas dari rasa tidak
peduliku.
Aku pamit pergi, tidak perlu khawatir tentang bagaimana aku
setelah pergi, bukankah sebelum aku pergi kamu juga sudah begitu seringnya
meninggalkanku sesuka hatimu, iya aku telah terbiasa dengan rutinitas yang
sering kali kamu buat. Pertemuan memang selalu dirasa singkat bagi jiwa-jiwa
yang menikmatinya, lain waktu aku akan mengunjungi tempat-tempat yang pernah
aku sambangi bukan untuk mengingatmu atau bahkan bentuk ketidak relaaku atas
kepergianmu, namun sebagai sarana diri mendewasakan hati dengan menerima dan
mengihklaskan bahwa tempat hanyalah sekedar tempat dan begitu tentangmu juga
kini hanyalah sekedar debu yang sejatinya dibersihkan.