Katanya hidup ini terbagi menjadi dua babak,
yang pertama kita mengharapkan yang kedua akan datang dan yang kedua kita
berharap yang pertama akan kembali. Manusia memang aneh, ketika sudah digunung
malah pantai yang dirindukan, setibanya di pantai malah gunung yang ditanyakan,
ketika kemarau bertamu malah hujan yang ditanyakan, namun ketika
hujan datang kenapa malah bertanya kapan hujan akan selesai.
jika kita mencintai langit, kita harus siap memaklumi hujan dan petirnya.
Kembali kutulis namamu dibab lain, bab dimana
yang seharusnya sudah tidak ada karena terakhir kali sudah kusimpulkan seluruh
kisah, sangat sebentar saya menulisnya tapi paragraf demi paragraft tercipta
begitu saja tanpa rasa lelah dan tanpa jeda, tentangmu meski tidak bersama, aku
tetap senang pernah menemukanmu dalam ketidak sengajaan, iya bahwasanya aku memang
menemukanmu dengan ketidak sengajaan pada keheningan kala itu.
Apakah kau pernah bertanya bagaimana bentuk
luka jika menjadi sebuah bahasa, akan seperti apa jadinya?. Apakah menjadi yang
paling bising diantara keramaian, menjadi yang paling ribut diteriknya siang
atau menjadi yang paling tenang diantara heningnya senja, menjadi yang paling
diam didinginnya tengah malam. Atau mungkin ia menjadi yang paling hening
diantara bising, menjadi yang paling tenang ditengah keramaian.
Mari
kembali kemasa itu, seperti halnya menyukai senja yang tak perlu kujelaskan
lebih dalam, aku selalu menyukai matamu, matamu menenggelamkan fokus namun
matamu selalu bisa menenagkan segala yang gusar. Aku melihat diriku semakin
dalam, semakin tidak mau keluar dari matamu seolah mempunyai magis sendiri.
Itulah sebab mengapa aku suka bersamamu, terkadang tidak terlalu banyak bicara,
kita hanya menikmati udara yang seliweran sambil saling menatap. Dalam hati,
aku ingin memanjatkan doa agar dengaku saja kamu ingin menetap.
Aku memang
suka segala tentangmu, bahkan saat kamu cemberut dan cemburu, tentu tidak
dengan porsi yang berlebihan, bagaimana caramu menahan rasa kesal saat itu.
Dengan begitu, kamu selalu terlihat semakin memesona,
Sebab
luka tercipta dari seseorang yang kita anggap istimewa.
Aku memercayaimu, waktu itu. Demikian denganmu yang menyandarkan pelukmu kepadaku sebagai bentuk perayaan atas kenyamanan. Pernah beberapa hari, minggu bahkan bulan, kita bersama-sama melukis kisah yang terkenang. Tak perlu kamu sesali, sebab dulu kamu pernah berjanji sebelum kita terlalu jauh dalam massa jarak waktu:
diantara sela angin jalan kau bertanya dengan penuh risau “Bisa
tidak, kau tak jauh?”
kujawab “jauhku bukan sebuah keinginan”
“Tapi aku tidak bisa jauh” jawabmu ringkas
dalam rengekkan
“Ini hanya perihal jarak dan waktu, nanti kusempatkan diri bertemu”
Jelang lepas beberapa waktu, aku sudah menepati janji tak jauh, namun kau
memilih hilang.
Jika
kedekatan hanya untuk membuat sebatas saling menyembuhkan luka karena orang
lain, sebaiknya kita tidak usah bertemu, sebab aku datang dengan ketulusan
serta kebahagiaan. Ketika lukamu sembuh lalu kau memilih pergi. Sialnya,
kepergianmu menjadi luka baru untukku, jika memang iya kedekatan kita
diperuntukkan hanya untuk sebatas itu, seharusnya kita memang tidak usah saling
mengenal saja. Karena apa untungnya jika orang yang berhasil menyembuhkanku
adalah orang yang melukaiku lebih hebat dari lukaku kemarin?
Hingga kita
mencapai titik akhir.
diantara tanda baca.
Bisa kah kita kembali ke awal lagi?
Bukan pada bagian kita menjadi saling.
Namun pada bagian kita masih asing.