Sejak pukul tiga pada hari ke lima dalam minggu pertama, saya melihat isi kepalaku dipenuhi dengan rumput liar serta keaneka ragaman hayati. Saya mendiam setengah sadar, bergaun rasa mati, berkeliling sembari menikmati ayat-ayat bergaris kalimat doa. Tidak terdapat bunga yang berkembang cemerlang, kumbang beterbangan se enak jidatnya.
Saya pernah,
Saya pernah mencintai dirimu, ingat? Saya
pernah sejatuh itu terhadapmu, tanpa peduli kau sanggahi, saya tersungkur menabrak
bumi. Saya pernah menulis sebuah daftar rencana hidup sehari penuh hanya denganmu,
menyisingkan waktu tanpa peduli seolah hal lain hanyalah fana. Saya juga pernah
menjadikan dirimu sebagai salah satu cita-cita yang harus saya gapai dalam
hidup, kau seolah piagam yang harus saya dapat dan rawat dengan seluruh
perjuangan hidup dan mati.
Saya ingat pertama kali bertemu denganmu, kau
mempertanyakan agenda apa yang akan kita lakukan?, yang padahal bagi saya
adalah asal bersama denganmu dan dapat melihatmu secara bebas itu sudah
termasuk rencana hidup saya. Pikiranku berputar bagai gasing, kau bebas namun akal
saya mengetahui hatimu masih tertambat pada masa lalumu, hati saya memang keras
kepala.
Berbicaralah denganku, ceritakan dan
diskusikan tentang apapun, tentang mengapa coklat yang berwarna putih tetap
bernama coklat bukan bernama putih karena warnanya yang putih, tetang pertanyaan
apakah ikan melihat kita juga hidup didalam air atau sebenarnya ikan tidak bisa
melihat air karena bagi mereka air adalah udara, tentang kenapa kita tidak
melihat lalat berterbangan pada malam hari atau nyamuk pada siang hari, apakah
mereka sebenarnya bekerja pada instansi yang sama sehingga menggunakan sistem shifting?, mari kita bahas semuanya.
Saya tidak akan bosan mendengarkan setiap konotasi pada setiap intonasi, dan
saya tidak sedang berbicara perihal parasmu, atau apapun yang engkau punya. Ada
sesuatu tentangmu yang membuat
saya merasa baik-baik saja, entah apa itu.
Iya saya pernah,
Bersedia menjadi bumi untuk mentarimu, kalimat
ayat pada puisi-puisimu, atap sebagai teduhmu, ruang untuk ekspresi jiwamu. Di dunia mimpi
engkau menjadi satu-satunya mahluk yang terindah, tidak ada tangis, tidak ada
penolakan, tidak pula tentang orang lain yang ada didalam benakmu, menjadikan
kisah hanya untuk kita berdua.
Lalu mengapa?.
Satu waktu seseorang bisa memenangkan hatimu tanpa banyak usaha, ia hanya
menjadi dirinya sendiri lalu kau menyukainya, di satu waktu yang lain kau
berhasil memenangkan hati seseorang tanpa melakukan apa-apa, kau hanya diam,
lalu dia terkesan. Dunia memang sekumpulan hal-hal yang tak terduga, tentang
kau salah satunya.
Hingga akhirnya.
Jika masalalu adalah pemenangnya, kutantang
dirimu temukan rasa sabar yang sehebat ini pada sosok itu, adakah dia mengerti
sebab luka yang tidak pernah bisa kau bagi pada sesiapa?, jika memang masalalu adalah pemenangnya, maka
tunjukan kepada saya dibagian mana hadirnya ada ketika kamu sedang
hancur-hancurnya, maka jika memang benar masalalu tetap menjadi pemenangnya mengapa
kau seolah memberi jalan yang boleh saya tapaki. Apakah ini hanya semacam
delusi fatamorgana pada alur tak kasat mata atau lebih pedihnya kau
membiarkanku ada hanya sebagai pengisi ruang kosong yang selama ini kau cari?.
Tenang saja.
Saya masih tetap disini, hanya saja saya
sengaja mundur beberapa langkah untuk memeberimu ruang melangkah, saya bukan
berhenti untuk peduli, saya juga masih memperhatikanmu dari jauh, hanya saja
saya sadar ada yang lebih bisa membuat senyummu lebih indah dan hari-harimu
lebih berwarna. Nanti bila kamu terluka lagi dan lagi, kamu tau kemana harus
menuju. Lagi jika hadirnya tidak memberikan kenyamanan atas dasar pengertian
isi kepala dan hati, hadirlah lewat pesan jari-jarimu atau jika berkenan tekan
tombol telpon dilayar ponselmu saya selalu siap menjadi tempat paling nyaman
yang kau butuhkan disaat sedang terjatuh, bukankah memang seperti itu? Bukankah
selalu seharusnya seperti itu?.
Dari seluruh runutan
tulisan ini saya memahami bahwa tidak ada larangan untuk mencintai seseorang,
begitu pula jangan larang dia mencintai pilihannya, belajar menerima keadaan
tanpa harus membenci kenyataan. Menyadarkan rasa cemburu memang menyelimuti
namun kaca mencerminkan siapa saya, sebab perlakuanmu membuat saya pernah
bangkit karena rasa percaya, namun jatuh kembali karena rasa kecewa. Untuk seiring berjalannya waktu, tenang saja
saya tidak akan mengganggumu lagi karena saya tahu waktumu bukan untuk saya.
Sengaja tulisan ini
tertulis “saya”, karena “aku”. Terlalu akrab bagi kita yang sudah terlanjur
asing.