Bagi sebuah senyum yang berisi tangis, air mata tak pernah singgah di pelupuk mata. Dia tenang dalam gambaran lengkuk garis bibir, mendewasakan hati. Ditemani secangkir kopi dikesepian malam, kamar menjadi saksi bisu atas seorang pemuda yang mengabadikan kisah silamnya dalam sebuah cerita tertulis.
Detak memberoktak detik, purnama menyulam malam, dan
tentangmu kini hanya sebuah kisah kelam. Luka yang kau tambat telah tertancap
hebat dalam relung yang tak pernah bisa terbendung, kini termenung dalam dekapan
angin malam yang berkolaborasi dengan dedaunan mencipta senandung sunyi.
Kantuk mata yang pernah tertahan sebab saling mendengar
cerita atas hari yang telah dilalui, rindu kau bilang, butuh teman saat sepi
faktanya. Kau tidak pernah hadir sebagai satu keutuhan, ragamu nyata namun
perasaanmu hanyalah sebatas bias. Hilang secara perlahan, hanya waktu saja yang
berbicara, tentang kepergianmu adalah skema paling brengsek dalam sebuah
perasaan.
Hadirku ketika kau patah, saat kau sembuh kau kembali berkelana dengannya.
Terlupa akan pertemuan mempunyai teman akrab bernama
perpisahan, aku terbuai dalam utopia. Ada banyak tanya kenapa saat kau berada
disisi, jelas dengan didasari aku telah mengetahui bahwa kau tak akan pernah
kumiliki, rumahmu bukan aku dan segala bentuk rasa darimu hanyalah kehormatan
bagiku atas segala kehancuran yang telah kau buat porak poranda. Kini aku
nobatkan padamu sebuah gelar pemberi patah hati paling sengaja, selamat
kepadamu. Aku dengan ihklas hati memberinya.
Delusi mengubah angan menjadi kehampaan, hal dimana yang seharusnya
dapat menjadi bahagia namun realita menyajikan sebuah cerita berakhir derita,
masam relung hati tersenyum menjadi kamuflase paling nyata. Kau adalah madu
paling beracun yang pernah kurasa, kepiawayanmu dalam berdrama menyadarkan diri
ini tentang hipokrit sesungguhnya.
Lalu sampai pada akhirnya kau memutuskan untuk menikah muda
dengan seorang lelaki yang lebih mapan dariku, yang kau percaya dapat mencukupi
keluarga kecilmu nanti, tentang makanan sehari-hari, pergi berlibur, sampai
tercukupnya kebutuhan anakmu kelak. Dan tentangnya yang entah mungkin saja
dapat lebih membahagiakan lahir serta batinmu. Tunggu sebentar, bukankah selama
ini kau yang meminta pertemuan?, memaksakan tatap mata dan senyum sumringah
antara kau dan aku kembali bertemu setelah sekian tahun terlupakan? Atau aku
saja yang halu merasa kepedean?.
Menyayangimu adalah tentang keihklasan, bukan perihal
keihklasan tentang semunya harapan. Melainkan keihklasan bahwa kau berhak untuk
berbahagia, perihal aku atau bukan yang dapat membahagiakanmu, itu bukan soal.
Percayalah, tipe orang sepertiku lebih memilih untuk dilukai, bukan melukai.
Itu sebabnya pula aku tetap memilih bersamamu mengisi kesepianmu walau aku tau
kita sedang berdrama, kau yang berdrama bahwasanya kau seperti menginginkan harimu
habis bersamaku, sedangkan aku yang berdrama bahwa aku berpura-pura tak
mengerti sejatinya ragamu hanya merasa butuh teman saat dia tak bisa menemani.
Sudahlah tak payah risau, aku memang benar ihklas, walau batin ini tidak, luka
ini yang berbicara, raga ini yang berdusta.
Titik tertinggi dari mencintai, yaitu mengihklaskan.
Aku telah mengantarmu pada stasiun pemberhentian,
mengarahkanmu kearah kebahagiaan dan aku kembali berkelana bersama dengan
kesendirian, menetap tanpa tatap, menatap tanpa bisa menetap. Ya seperti itulah
transit. Kau pergi lalu aku terdiam sepi, nyatanya kau memang suka berpergian
dan aku memang suka dengan kesepian, namun kau kini menetap dalam satu atap,
sedangkan aku kesepian dalam temaram lamunan menunggu jemputan dari rute selanjutnya,
dipertemukan oleh orang baru atau berkisah dengan menyambung paragraft lama.
Kita pernah.
Bukan punah.
Hanya sudah.
Perlahan kau mulai memahami bahwa kisah kasih semasa remaja
hanyalah sementara. Kau dan segala hal darimu mulai tumbuh dewasa, kau yang
dahulu kukenal dengan gadis kecil penuh tawa riang kini telah menjadi perempuan
dewasa yang sudah melanglang buana, bertemu banyak manusia, menatap banyak
pasang mata, dan menemui banyak hati. Hingga kau memilih menetap pada seorang
yang menyatakan cintanya secara sigap, memastikan bahwa dia pantas untuk
menafkahi kau sebagai tanggung jawabnya. Kesigapan dan kesiapan materi yang tak
kumiliki telah siap dia atur untuk keluarga kalian, dan bagiku memberikan
sebuah pengertian bahwa hati yang pernah mati-matian berkelana pasti akan rela
ditangguhkan dengan seorang yang memberi kepastian.
Lalu dihari penyatuanmu kau pasti terlihat sangat cantik,
kau berbahagia disampingnya, bersama keluarga besarmu dan keluarga besarnya
dengan riasan mewah yang menyelimuti raga, jadwal padat berganti pakaian adat
dan tiada henti bersalaman dengan tamu undangan yang kalian undang, termasuk
diriku yang kau undang dengan teks melalui media sosial, serta lontar kalimat
maaf karena pernah membohongiku, kenapa kau tidak bilang kalau kau paham? Katamu,
lalu jawabku hanya sekedar aku ingin kau bahagia persetan bagaimana keadaanku. Lalu
maaf diriku sudah lebih dulu pergi meninggalkanmu dan aku tidak dapat melihat
senyumu kala itu, melihat paras ayumu menggunakan pakaian serasi bersama
pasangan sehidup semati yang kau pilih akan membangun pondasi cerita sampai
akhir hayat nanti. Salam dan senyum dariku tak terpancar di singgahsana yang
kau sediakan dengan megah, bukan bermaksud membencimu, hanya saja memang takdir
yang memaksaku berpindah lokasi kediaman, atau mungkin saja tuhan dengan
lembutnya menyelamatkan hatiku yang telah rapuh daripada harus hancur
porak-poranda saat berjabat tangan dengan dua keluarga besar dalam acara maha
dasyat dalam kehidupanmu, lalu aku harus berpura-pura tersenyum disaat hati
sedang membendung derasnya air mata.
Seiring bergulirnya waktu, kita akan terbiasa. Terbiasa
tanpa kabar, terbiasa tanpa rindu, terbiasa tanpa temu, lalu perlahan kita akan
terbiasa untuk saling melupakan.
Menghantam logika.
Penuh paksa.
Membunuh rasa.
Lekas kenangan luluh terbilas sebuah pinangan, kau telah
terima kehendak baik dari seseorang yang kau anggap baik, Setiap aktifitas barumu yang belum pernah kau
jalani sebelumnya, mencuci pakaian suami, menyiapkan hidangan, berjalan-jalan.
Dengan bangga nan bahagia kau bagikan ke linimasa sosial media, sampai pada
waktunya, momen yang membuatmu teramat bahagia, membuat tubuh mungilmu menjadi
berbeda, perut yang kian lama membesar sebab telah bertumbuhnya janin calon
anak kandungmu, berbahagialah kamu, tersenyumlah aku.
Berbahagialah dirimu dengannya, cinta kalian telah terikat
rekat dan hatiku masih saja pekat, untuk diriku yang belum sempat memilikimu
maka biarkan aku merelakanmu dengan ihklas. Kepul asap kopi kini telah
menghilang dan perkara perasaanku kepadamu sudah tidak lagi bersarang, cemilan
sebagai teman pun perlahan telah habis tertelan persis jika dianalogikan dengan
rasa yang dulu pernah ada namun kini habis dimakan oleh kelaraan.
Entah kau yang terlalu dingin, atau aku yang terlalu ingin.
Maka biarkan saja seperti biasanya, kau tetap menjalani
keseharianmu dengan penuh senyum, iya. Senyum yang dulu pernah membuatku jatuh
hati, senyum yang sempat membuatku berhenti sejenak menikmati waktu untuk
memandangi. Jadi tetap lanjutkan hari-harimu dengan bahagia dan dengan dirinya,
seorang yang kuharap mampu memberi bahagia pada keluarga kecilmu. Yakinkan saja
aku tidak pernah mengucapkan selamat tinggal, karena memang tidak ada yang
pergi, kau tetap disana berbahagia, dan aku tetap disini menjalani hari dengan
sendiri. Tidak ada yang berubah, hanya saja jika tatap sapamu tiba pada mata dan
telingaku, mungkin jawab serta reaksiku tidak akan sama seperti biasanya. Kini
senyummu bukan lagi karenaku, ada suami yang setiap hari kau jumpai dengan
obrolan-obrolan manis serta manja membahas bagaimana tatanan rumah, pagar
dihalaman, dekorasi ruangan, letak pot bunga, tebal selimut, warna cat dinding,
nama anak pertama. Dan hal yang direncanakan lainnya.
Tugasku kini telah usai, kau telah sembuh dari luka
kesendirian, sekarang tugasku adalah membiarkanmu bahagia dengan orang yang kau
pilih.
Akhirnya sampai pada titik ini, titik dimana melihatmu sudah
biasa saja, mengingatmu tidaklah luka, dan tentangmu tidak lagi perih, karena
patah hati terberat adalah ketika bibir ini memohon kepada tuhan bukan untuk
menyatukan, melainkan untuk melupakan. Sebab dahulu pernah dengan angkuhnya
menyombongkan namamu disetiap cerita bahagiaku, pernah dengan bangganya
memperlihatkan bahagiaku itu karena keberadaanmu, pernah dengan senyum berkata
pada dunia bahwa cantik, mungil dan imutmu diperuntukan untuku. Kini, aku
menelan dengan serat ludahku sendiri, penuh bakteri. Lalu pada akhirnya,
menjawab segala tentangmu hanyalah lewat senyuman.
Aku tidak berhenti menyayangimu, tapi aku hanya berhenti
menunjukannya, kelak jika nanti kita diperbolehkan oleh takdir untuk bertatap
mata kembali, lihatlah sosok ini sebagai teman baikmu.