Jumat, 21 Agustus 2020

Katastrofe

Bagi sebuah senyum yang berisi tangis, air mata tak pernah singgah di pelupuk mata. Dia tenang dalam gambaran lengkuk garis bibir, mendewasakan hati. Ditemani secangkir kopi dikesepian malam, kamar menjadi saksi bisu atas seorang pemuda yang mengabadikan kisah silamnya dalam sebuah cerita tertulis.

Detak memberoktak detik, purnama menyulam malam, dan tentangmu kini hanya sebuah kisah kelam. Luka yang kau tambat telah tertancap hebat dalam relung yang tak pernah bisa terbendung, kini termenung dalam dekapan angin malam yang berkolaborasi dengan dedaunan mencipta senandung sunyi.

Kantuk mata yang pernah tertahan sebab saling mendengar cerita atas hari yang telah dilalui, rindu kau bilang, butuh teman saat sepi faktanya. Kau tidak pernah hadir sebagai satu keutuhan, ragamu nyata namun perasaanmu hanyalah sebatas bias. Hilang secara perlahan, hanya waktu saja yang berbicara, tentang kepergianmu adalah skema paling brengsek dalam sebuah perasaan.



Hadirku ketika kau patah, saat kau sembuh kau kembali berkelana dengannya.

Terlupa akan pertemuan mempunyai teman akrab bernama perpisahan, aku terbuai dalam utopia. Ada banyak tanya kenapa saat kau berada disisi, jelas dengan didasari aku telah mengetahui bahwa kau tak akan pernah kumiliki, rumahmu bukan aku dan segala bentuk rasa darimu hanyalah kehormatan bagiku atas segala kehancuran yang telah kau buat porak poranda. Kini aku nobatkan padamu sebuah gelar pemberi patah hati paling sengaja, selamat kepadamu. Aku dengan ihklas hati memberinya.

Delusi mengubah angan menjadi kehampaan, hal dimana yang seharusnya dapat menjadi bahagia namun realita menyajikan sebuah cerita berakhir derita, masam relung hati tersenyum menjadi kamuflase paling nyata. Kau adalah madu paling beracun yang pernah kurasa, kepiawayanmu dalam berdrama menyadarkan diri ini tentang hipokrit sesungguhnya.

Lalu sampai pada akhirnya kau memutuskan untuk menikah muda dengan seorang lelaki yang lebih mapan dariku, yang kau percaya dapat mencukupi keluarga kecilmu nanti, tentang makanan sehari-hari, pergi berlibur, sampai tercukupnya kebutuhan anakmu kelak. Dan tentangnya yang entah mungkin saja dapat lebih membahagiakan lahir serta batinmu. Tunggu sebentar, bukankah selama ini kau yang meminta pertemuan?, memaksakan tatap mata dan senyum sumringah antara kau dan aku kembali bertemu setelah sekian tahun terlupakan? Atau aku saja yang halu merasa kepedean?.

Menyayangimu adalah tentang keihklasan, bukan perihal keihklasan tentang semunya harapan. Melainkan keihklasan bahwa kau berhak untuk berbahagia, perihal aku atau bukan yang dapat membahagiakanmu, itu bukan soal. Percayalah, tipe orang sepertiku lebih memilih untuk dilukai, bukan melukai. Itu sebabnya pula aku tetap memilih bersamamu mengisi kesepianmu walau aku tau kita sedang berdrama, kau yang berdrama bahwasanya kau seperti menginginkan harimu habis bersamaku, sedangkan aku yang berdrama bahwa aku berpura-pura tak mengerti sejatinya ragamu hanya merasa butuh teman saat dia tak bisa menemani. Sudahlah tak payah risau, aku memang benar ihklas, walau batin ini tidak, luka ini yang berbicara, raga ini yang berdusta.

Titik tertinggi dari mencintai, yaitu mengihklaskan.

Aku telah mengantarmu pada stasiun pemberhentian, mengarahkanmu kearah kebahagiaan dan aku kembali berkelana bersama dengan kesendirian, menetap tanpa tatap, menatap tanpa bisa menetap. Ya seperti itulah transit. Kau pergi lalu aku terdiam sepi, nyatanya kau memang suka berpergian dan aku memang suka dengan kesepian, namun kau kini menetap dalam satu atap, sedangkan aku kesepian dalam temaram lamunan menunggu jemputan dari rute selanjutnya, dipertemukan oleh orang baru atau berkisah dengan menyambung paragraft lama.

Kita pernah.

Bukan punah.

Hanya sudah.

Perlahan kau mulai memahami bahwa kisah kasih semasa remaja hanyalah sementara. Kau dan segala hal darimu mulai tumbuh dewasa, kau yang dahulu kukenal dengan gadis kecil penuh tawa riang kini telah menjadi perempuan dewasa yang sudah melanglang buana, bertemu banyak manusia, menatap banyak pasang mata, dan menemui banyak hati. Hingga kau memilih menetap pada seorang yang menyatakan cintanya secara sigap, memastikan bahwa dia pantas untuk menafkahi kau sebagai tanggung jawabnya. Kesigapan dan kesiapan materi yang tak kumiliki telah siap dia atur untuk keluarga kalian, dan bagiku memberikan sebuah pengertian bahwa hati yang pernah mati-matian berkelana pasti akan rela ditangguhkan dengan seorang yang memberi kepastian.

Lalu dihari penyatuanmu kau pasti terlihat sangat cantik, kau berbahagia disampingnya, bersama keluarga besarmu dan keluarga besarnya dengan riasan mewah yang menyelimuti raga, jadwal padat berganti pakaian adat dan tiada henti bersalaman dengan tamu undangan yang kalian undang, termasuk diriku yang kau undang dengan teks melalui media sosial, serta lontar kalimat maaf karena pernah membohongiku, kenapa kau tidak bilang kalau kau paham? Katamu, lalu jawabku hanya sekedar aku ingin kau bahagia persetan bagaimana keadaanku. Lalu maaf diriku sudah lebih dulu pergi meninggalkanmu dan aku tidak dapat melihat senyumu kala itu, melihat paras ayumu menggunakan pakaian serasi bersama pasangan sehidup semati yang kau pilih akan membangun pondasi cerita sampai akhir hayat nanti. Salam dan senyum dariku tak terpancar di singgahsana yang kau sediakan dengan megah, bukan bermaksud membencimu, hanya saja memang takdir yang memaksaku berpindah lokasi kediaman, atau mungkin saja tuhan dengan lembutnya menyelamatkan hatiku yang telah rapuh daripada harus hancur porak-poranda saat berjabat tangan dengan dua keluarga besar dalam acara maha dasyat dalam kehidupanmu, lalu aku harus berpura-pura tersenyum disaat hati sedang membendung derasnya air mata.

Seiring bergulirnya waktu, kita akan terbiasa. Terbiasa tanpa kabar, terbiasa tanpa rindu, terbiasa tanpa temu, lalu perlahan kita akan terbiasa untuk saling melupakan.

Menghantam logika.

Penuh paksa.

Membunuh rasa.

Lekas kenangan luluh terbilas sebuah pinangan, kau telah terima kehendak baik dari seseorang yang kau anggap baik,  Setiap aktifitas barumu yang belum pernah kau jalani sebelumnya, mencuci pakaian suami, menyiapkan hidangan, berjalan-jalan. Dengan bangga nan bahagia kau bagikan ke linimasa sosial media, sampai pada waktunya, momen yang membuatmu teramat bahagia, membuat tubuh mungilmu menjadi berbeda, perut yang kian lama membesar sebab telah bertumbuhnya janin calon anak kandungmu, berbahagialah kamu, tersenyumlah aku.

Berbahagialah dirimu dengannya, cinta kalian telah terikat rekat dan hatiku masih saja pekat, untuk diriku yang belum sempat memilikimu maka biarkan aku merelakanmu dengan ihklas. Kepul asap kopi kini telah menghilang dan perkara perasaanku kepadamu sudah tidak lagi bersarang, cemilan sebagai teman pun perlahan telah habis tertelan persis jika dianalogikan dengan rasa yang dulu pernah ada namun kini habis dimakan oleh kelaraan.

Entah kau yang terlalu dingin, atau aku yang terlalu ingin.

Maka biarkan saja seperti biasanya, kau tetap menjalani keseharianmu dengan penuh senyum, iya. Senyum yang dulu pernah membuatku jatuh hati, senyum yang sempat membuatku berhenti sejenak menikmati waktu untuk memandangi. Jadi tetap lanjutkan hari-harimu dengan bahagia dan dengan dirinya, seorang yang kuharap mampu memberi bahagia pada keluarga kecilmu. Yakinkan saja aku tidak pernah mengucapkan selamat tinggal, karena memang tidak ada yang pergi, kau tetap disana berbahagia, dan aku tetap disini menjalani hari dengan sendiri. Tidak ada yang berubah, hanya saja jika tatap sapamu tiba pada mata dan telingaku, mungkin jawab serta reaksiku tidak akan sama seperti biasanya. Kini senyummu bukan lagi karenaku, ada suami yang setiap hari kau jumpai dengan obrolan-obrolan manis serta manja membahas bagaimana tatanan rumah, pagar dihalaman, dekorasi ruangan, letak pot bunga, tebal selimut, warna cat dinding, nama anak pertama. Dan hal yang direncanakan lainnya.

Tugasku kini telah usai, kau telah sembuh dari luka kesendirian, sekarang tugasku adalah membiarkanmu bahagia dengan orang yang kau pilih.

Akhirnya sampai pada titik ini, titik dimana melihatmu sudah biasa saja, mengingatmu tidaklah luka, dan tentangmu tidak lagi perih, karena patah hati terberat adalah ketika bibir ini memohon kepada tuhan bukan untuk menyatukan, melainkan untuk melupakan. Sebab dahulu pernah dengan angkuhnya menyombongkan namamu disetiap cerita bahagiaku, pernah dengan bangganya memperlihatkan bahagiaku itu karena keberadaanmu, pernah dengan senyum berkata pada dunia bahwa cantik, mungil dan imutmu diperuntukan untuku. Kini, aku menelan dengan serat ludahku sendiri, penuh bakteri. Lalu pada akhirnya, menjawab segala tentangmu hanyalah lewat senyuman.

Aku tidak berhenti menyayangimu, tapi aku hanya berhenti menunjukannya, kelak jika nanti kita diperbolehkan oleh takdir untuk bertatap mata kembali, lihatlah sosok ini sebagai teman baikmu.

Share: