Atas nama rasa yang sepenuhnya pernah kau buat percaya akan sebuah keabadian, tidak akan musnah dengan waktu, tak akan lumpuh bersama raga, tak akan hilang karena penglihatan, tak akan pudar karena menjauhnya langkah. Atas nama kebahagiaan yang benar-benar nyata diberi. Kita percaya bahwa setiap percakapan adalah keromantisan, kita yakin bahwa setiap pergerakan adalah keistimewaan. Makna bersama bukan hanya sekedar pengartian secara harfiah kalimat dalam kamus, namun ada menjadi realita yang dirasa oleh jiwa raga, lewat tawa kita bercengkrama, lewat obrolan kita bersama, lewat tatap kita menjadi nara yang bahagia.
dibawah senja ungu, dalam ramai berdua bukanlah hal
yang tabu.
Berdua adalah pembawa pilihan, akan disatukan atau
dipisahkan.
Kita ini individual yang meyakinkan semesta bahwa
kebahagiaan selalu nyata adanya, tentang kenyamanan bukan sekedar bujuk rayuan,
dan dibodohkannya aku oleh kenyamanan, bahwa dengan mudahnya aku dibuat lupa
tentang sebuah hubungan yang menjerumuskan hati pada sebuah kebuntuan. Kita
bukan kekasih, hanya insan yang sering bersama hingga mengakibatkan kenyamanan,
tentang segala waktu yang pernah dilewati tanpa kecewa, kini raga dihadapkan
dengan realita yang nelangsa. Kau sudah berkekasih, aku hanyalah tempat kau
mengusap sedih, senggang hatimu itu miliknya seberapapun jarak yang telah
meretakan kau akan kembali dengan sebuah kepastian, tentang apa-apa yang
menjadikan kau dan dia sebagai kalian, tentang segala hal yang mengakrabkan dua
hati, tentang kepemilikan dan ketertarikan antara dua jiwa, iya semua itu
berada diantara kalian. Tentang kata kita sebenarnya hanyalah susunan huruf
yang tersusun karena sebuah harapan semu.
Atas nama hati, kau benar berhasil mempermainkan.
Kau pergi tanpa peduli, meminta maaf tak segera
dilontarkan, kau menunggu momen yang paling tepat untuk mengungkapkan preadvis
seolah bersalah, bagiku tak masalah, sebab kepergianmu adalah bahagiaku. Bukan
karena aku membencimu, hanya saja aku bahagia karena kau bisa bahagia. Yang
kupinta hanya satu, jangah seolah kembali hanya karena hatimu sedang dirundung
sepi, jangan menyapa disaat ragamu butuh tawa, namun kembalilah dengan apa
adanya, dengan kejujuran tanpa rekayasa, jangan membuat semesta mengulang
kecewa karena bahagia yang kita cipta hanya tipuan sebuah rasa yang tak benar
adanya.
Lintas masa membuka mata tentang berbagai makna yang
harusnya sudah dipahami dan di ihklasi sedari awal. Kita itu egois, benar?. Kau
egois agar kau tak merasa sendiri, dan aku egois karena lebih memikirkanmu
daripada diriku sendiri. Linimasa waktu lintas peristiwa lalu membuat kita
perlahan-lahan sadar; bila sesal yang dirawat akan ramai dengki yang berhasrat.
Kini kau menetaplah bersama bahagia yang kalian cipta, tak ada yang bisa
kulakukan selain memberimu seuntai doa, agar kau senantiasa merasa bahagia.
Kuharap dia menganggapmu seperti kau mengaggap dia sebagai tempat bertukar
segalanya sampai memudarnya usia. Semoga yang dia beri bukan luka ataupun
kecewa, karena kutahu hatimu tak pernah mau menerima hal itu.
Doaku masih sama seperti waktu kita masih bisa
memandang dengan seksama, tentang sehat dan bahagia dirimu, segala hal yang
terbaik untukmu. Doaku memang seperti itu, tidak meminta kepada tuhan agar kau
bahagia denganku, tapi bahagia dengan pilihanmu, sebab keinginanku perihal
darimu adalah membuat kau jauh dari kata kecewa. Nantinya jika puncak bahagiamu
tiba, dengan balutan gaun indah dan tatanan dekorasi ruangan yang menawan mata.
Percayalah, Hadirku akan disertai senyuman tulus, sebab doaku selama ini yang
selalu ingin kau merasa bahagia telah benar-benar dikabulkan.
Atas nama seluruh rasa, harapku tidak lebih dari
kalimat “semoga kau selalu bahagia”