Suatu masa dimasa silam, aku pernah
berjuang sekuat-kuatnya untuk seseorang, sampai dirasa nyawa ini rela aku
pertaruhkan demi dirinya. Bahkan separu warasku terabaikan. Aku menjadi apa pun
asal dia bisa bahagia, agar dia bisa nyaman dan agar dia tetap bersamaku. Waktu
itu aku membutakan mataku sebuta-butanya dari pesona dunia hanya agar sosoknya
tidak lepas dari pengawasanku, menjadi tuli untuk perkara yang melemahkan
perasaan. Tidak memperdulikan berbagai perkataan orang lain tentang kamu atau
tentang kita, membiarkannya berlalu selayaknya terpaan angin pada tanaman, asal
tak membuat rusak keadaan. Aku selalu ingin dirinya, keluar dari duniaku
sendiri dan mencoba berbaur dalam dunianya, pernah berusaha begitu keras untuk
selalu membuatnya kokoh berdiri. Hingga, tersungkur aku setengah mati, bahwa
yang aku dapatkan hanya ketidak pedulian.
Aku menyediakan tempat senyaman-nyamannya untuk dia singgahi, seluas-luasnya untuk ia tempati. Begitu besar harapan dia akan betah berlama-lama ditempat yang telah aku sediakan.
Nyatanya dia tak peduli dengan itu, baik atau buruknya aku pada masa itu, akan berakhir sama. Dikecewakan lalu ditinggalkan. Bersandar lemas pada kesendirian, mencoba menerima kenyataan bahwa dia tak benar ada perihal jujurnya perasaan, harapan yang selalu aku inginkan seketika musnah tanpa kepedulian. Merobek setiap inci hati yang awalnya sudah siap untuk mengikat perasaan satu sama lain, meluluh lantahkan perasaan yang seharusnya bisa meminang masa depan.
Seperti itulah dia, pematah
hati paling profesional. Dia adalah ilusi paling nyata dan pematah hati paling
sengaja.
Hari-hari rapuh dan jatuh,
hari-hari yang penuh kecewa telah kulalui, panjang waktu yang telah terlewati
perihal pernah bersamanya, dia menyadarkan diriku bahwa sosok yang begitu lemah
lembut, lucu dan imut dapat melukai dengan begitu kejamnya, dia membuat segala
hal yang telah kuberikan untuknya dengan penuh hanya dibalas dengan kekejaman
sehina-hinanya. Hingga pernah berniat mengubah do’a baik yang selama ini aku
kirim untuknya menjadi kutukan yang paling kejam. Hari itu, usai sudah segala
perkara tentang dirinya, telah terlupakan dan lenyap sebagaimana kertas yang
dibakar. Kulepaskan dia kepada semesta, kubiarkan dia berkelana, matilah
bersama sedih-sedih yang dia derita dan penyesalan yang diterima berikutnya.
Nanti akan tiba waktu tentang
merindukan sifat yang kekanak-kanakan ini, sifat yang mungkin membuat muak
waktu itu. Lalu memilih pergi menjauh dariku. Mencari seseorang yang dapat di
andalkan mencari pengganti menemukan yang baru, ia menerima seseorang yang dirasa
lebih baik dan lebih dewasa dariku, tak masalah. Bagiku dia hanyalah masa kelam
yang harus dilupakan. Ia memilih jalan lain, jalan yang menurutnya lebih baik.
Terasa dijatuhkan dari langit namun tak patah tulang hatiku saja yang remuk
berantakan, tubuhku pun baik-baik saja, perasaan didalam dada yang cidera dan
penuh luka. Sementara dia bahagia disana dengan seseorang yang di anggap
dewasa.
Nantinya akan tersadar, bahwa
ada seseorang yang pernah begitu hebatnya dalam berjuang, orang itu adalah aku,
dalam setiap kesalahan aku hanya perlu di beri waktu untuk belajar, bukan
ditinggalkan, kita hanya belum benar-benar bisa mengerti dunia yang berbeda.
Namun, sekanak-kanaknya aku. Aku tidak pernah menyakitimu melebihi apa-apa yang
ditakuti dirimu secara berlebihan, kamu hanya terlalu cepat mengambil
kesimpulan secara sepihak.
Pada suatu saat nanti jasadku
tak akan ditemukan lagi, menghilang bagai kabut yang tersisih gagahnya mentari
diatas bumi. Pada suatu saat nanti senyum serta suaraku tak akan kau dengar
layaknya tangis anak kecil ditengah hirup pikuk hutan belantara. Pada suatu
hari nanti impianku tak akan teguh lagi, binasa seperti kerikil yang terhempas
ditengah laut. Percayalah semua itu perkara dia, dia adalah alasan paling tepat
untuk penyiksaan ini, memproses kematian secara perlahan dan bertahap.
Kini setiap kali bertemu, aku
selalu memperbaiki raut wajah berkali-kali, memasang mimik muka yang pas
sebagai orang asing, seseorang yang belum pernah berjumpa sebelumnya. Mencari
nada yang pas sebagai orang lain, sebagaimana seseorang yang belum pernah
berbincang. Itulah alasan mengapa aku cepat memalingkan muka, aku lebih banyak
diam daripada bicara. Karena setiap kali dia menatapku, setiap kali dia
berbicara kepadaku, aku harus meyakini pada hatiku bahwa aku tidak akan
mengulangi jatuh cinta lagi kepadanya. Semuanya sudah berakhir dan tidak akan
pernah dimulai lagi.
Barangkali perihal jodoh dia
bukan yang terbaik, namun hati harus percaya serta yakin bahwa tuhan menyimpan
perihal yang apa-apa belum aku ketahui yang jauh lebih baik dari yang bisa
dinalarkan oleh pikiran. Sejak hari itu aku menganggap dirinya telah sirna,
lenyap bersama waktu yang telah dilewati dengan tegar, hari masih harus
berlanjut dengan atau tanpa dirinya, dunia masih punya beragam bahagia yang
harus dimasukan kecatatan hidup.
Kalau berandai-andai, aku
sama sekali tidak ingin mengenal dia, karena dia aku tersungkur, pernah tidak
mengenal bahagia, lupa ingatan tentang dunia luar, ya andai saja bisa. Nyatanya
tidak, namun sekarang semua sudah terlewati dengan sedikit kesabaran dan
ditambah bumbu ketabahan, sebuah racikan yang pas untuk masa lalu. Saat ini
yang tersaji adalah bahagia untuk hari-hari selanjutnya. Banyak rahasia yang
dibungkus rapih oleh waktu, perlahan setiap detik akan memberitahu pada semesta
untuk berencana mempersiapkan segala halnya untuk menjadi kejutan dimasa yang
belum aku jumpa sebelumnya.
Bersama dalam detik yang
sama, menit yang sama, jam yang sama, hari yang sama serta mengenai waktu yang
sama lainnya, aku dan dia mencoba bahagia dengan cara yang berbeda. Kalau saja
dia dapat meyakini bahwa hanya aku yang dapat menggantikan tugas bapaknya untuk mencintai,
menjaga dan membahagiakannya, aku dan dia pasti sedang mencoba bahagia dengan
cara yang sama, tiada yang berbeda tiada yang dibeda. Saat ini pengelihatanku
sudah pulih, pendengaranku sudah normal, jiwa serta raga telah kuat berdiri
kembali untuk berjuang lagi, untuk seseorang yang lain, untuk peristiwa lain
yang masih dirahasiakan oleh semesta. Hati bereinkarnasi dalam wujud yang sama
di jasad yang sama, kembali utuh seperti sedia kala. Tidak mudah memang melupa
dirinya, seseorang yang pernah kukenal dengan sangat dekat. Orang yang dulu
begitu baik, orang yang begitu mudahnya memberi nama panggilan dengan kehendak
leluconya sendiri. Menghilangkan dirinya dari ingatan bukanlah hal yang
sederhana, butuh proses tempuh yang amat panjang dan rumit.
Namun segala hal yang telah
berakhir memang harus ditinggal dengan selayaknya. Segala perihal kegiatan
bersamanya memang sudah sepatutnya disimpan, rengekan manja, cubitan kecil, dan
gelak tawa atau segala hal yang ada pada dirinya harus dibuang secara paksa. Tinggal
menunggu semua itu akan menjadi rindu atau menjadi hal yang tabu, yang jelas aku
sudah menjadi asing baginya. Percaya atau tidak hidupku tetap baik-baik saja
dengan atau tanpa dirinya, bahkan bisa menjadi lebih baik dari apa yang bisa
dibayangkan dimasa lalu.
Karena seperti ulat yang
berubah menjadi kupu-kupu, hati bisa saja bermetamorfosis menjadi lebih indah
dari segala hal. Kita hanya perlu waktu untuk bersabar dan tabah dalam melewati
segala progres.