Kamis, 15 Maret 2018

Rentetan Waktu Malam


Pukul 19.11

Tepat saat adzan dikumandangan, kita sementara berpamit dalam pesan “jangan lupa sholat isya” waktu itu dengan tambahan emotikon lucu senyum pipi merah merona, menandakan bahwa kita sedang menjalin bahagia berjanji akan segera kembali. Terbawa suasana selepas ibadah, aku berdiskusi dengan tuhan, memohon agar menjadikan dirimu sebagai wanita pengisi waktu sampai akhir cerita hidup didunia selesai. Jelasnya, aku berdoa kepada tuhan agar kau ditetapkan sebagai jodoh yang paling tepat untuk diriku. Aku terlalu khusyuk berdoa sampai lupa memberi kabar untukmu, aku menggapai ponsel dengan senyuman, namun seketika senyum itu kandas ketika ada gejolak menengok status media sosialmu. Tepat sekali, pesan terakhir dariku pun belum kau baca dan aku menemukan lara dalam sebuah poto yang kau unggah, kau sedang bersanding ceria bersama lelaki lain, senyum tulus dari kalian berdua mempercepat pembusukan dalam hati, diatas kain sajadah yang belum di rapihkan aku masih terduduk dalam kecewa berat ditemani rapuh yang datang tanpa isyarat, menempatkanku dalam risau berkepanjangan, menanyakan waktu pada setiap kesibukan yang kau buat dengan bumbu kegembiraan, bersandar pada tuhan semoga bahagia tetap terciptakan walau dirimu telah menghadirkan kekecewaan.


petala langit menumpuk kisah

Aku disini, kecewa.

Kau disana, berbahagia.
Pukul 20.05

Aku masih ingat satu waktu ketika kau menggerutu karena pesanmu lama tidak terbalas, emotikon cemberut yang kau sisipkan diakhir pesan adalah pertanda kepastian bahwa hatimu sedang dongkol. Entah waktu itu aku malah tertawa kecil seolah dongkolmu adalah hiburan kecil, kau seakan begitu takut kehilangan, seolah tiada pria lain yang dilahirkan dibumi ini dari rahim ibu yang lain. Kita sudah terbiasa berteman dengan aplikasi, saling membalas pesan dan bertukar rindu untuk raga yang haus akan kabar adalah rutinitas pengisi hari, beberapa aplikasi yang pernah kita singgahi kini menjadi saksi bisu sebuah perjalanan bahwa ada rasa yang pernah di diami, aku terbuai delusi, kau menjauhi tatap mata kita pada layar, memberi pesan pada status media sosialmu, iya, poto mesra itu yang memberi pesan sekaligus cambukan kejam untukku, tepatnya untuk menyadarkanku bahwa tidak perlu ada lagi harapan untuk pematah hati seperti dirimu. Terlintas kesal mencoba marah, tetapi untuk apa membela hati yang belum pernah kita miliki?, maka aku biarkan mimpi dan harapan tetap tumbuh dalam hati yang semakin rapuh, kini kau sedang dengan asyiknya bertukar pesan dengan orang lain atau parahnya kau sedang merencanakan untuk membunuh perasaan orang lain (lagi) dengan awal memberi harapan palsu yang menjanjikan bahagia selamanya namun tikaman penuh tenaga diakhir cerita.

Aku disini, kecewa.

Kau disana, berbahagia.

Aku disini, mendiami lara.

Kau disana, melangkah bersamanya.

Pukul 21.54

Lucunya kau hadir kembali dengan membalas pesan lalu yang sudah terbengkalai dan sayangnya pesan itu sudah aku bersihkan dari menu pesan masuk, iya aku tegaskan sekali lagi, seluruh pesan darimu telah sengaja aku hapus dengan rasa kecewa yang masih meletup-letup, emosi kesal ini masih terpampang jelas di hati. Namun sialnya masih ada secuil sayang yang mengendap di hati, entah kenapa 50% emosi menjadi redup dengan cepat, memang kekuatan luar biasa dari efek cinta, dan ternyata benar, obat paling mujarab bagi luka hati adalah orang yang melukai, entah kenapa itu benar nyatanya. Kemudian kita membalas pesan dengan renggang waktu yang lumayan menyesak hela nafas, sekiranya begini, aku membalas secepat pesan darimu masuk, kau membalas setelah pesan orang lain terbalaskan. Secepat kau meluluhkan hati semudah itu ragaku kau tinggal pergi tanpa perduli. Atas rasa yang baru saja kau benahi, kau meminta izin untuk segera lekas pergi, semudah itu kau bercakap seolah rasaku padamu adalah ‘biasa saja’, aku berinisiatif mengirim pesan sok puitis untuk menutup harimu dan untuk memulai mimpi diantara sela waktu tidur lelapmu, dengan harapan kau bisa lebih mengerti akan perasaanku terhadap dirimu, namun aku tidak mendapatkan satu pun balasan dari dirimu, pesan sok puitis itu menggantung hebat pada penasaran akan suatu balasan, sungguh bagiku adalah penutup pesan yang tidak mengenakan.
Aku disini, kecewa.

Kau disana, berbahagia.

Aku disini, berpeluk nelangsa.

Kau disana, penuh rahasia.

Pukul 00.32

Hari baru bermula, waktu memekatkan rona malam gelap gulita. Tiba-tiba aku terteguk ketika mendapati ponselku menerima notifikasi pesan baru, dan ternyata itu darimu. Entah apa yang ada dipikiranmu saat itu, kau dengan mudahnya memainkan hati yang padahal jelas telah berulang kali kau buat terluka, kau memang mahluk yang memiliki sifat egosentris paling tinggi yang pernah ada di dunia, aku berpura lewat basa-basi memberi pernyataan “sibuk sekali dirimu tengah malam ini masih terjaga ternyata, aku kira kau sudah tidur dengan lelap”, pertama kalinya kamu membalas dengan cepat, entah teman spesialmu telah berpamitan untuk tidur atau masih menunggu dia mengetik pesan panjangnya. Kamu membalas dengan memberi alasan bahwa tugas kuliah lah yang membuatmu sibuk sampai larut malam, membalas untuk yang kesekian kali bersiap menerima kecewa untuk hati. Centang dua biru pada pesan yang terkirim memberi kesan bahwa kau memang mahluk tuhan dengan sifat egosentris tertinggi yang ada di dunia.

Tertanda waktu menunjukan pukul 01.45 dini hari, iya waktunya mengistirahatkan raga serta hati yang telah begitu lelahnya berjuang tanpa diperdulikan, memperioritaskan seseorang yang tidak memperioritaskan kita adalah hal sederhana yang begitu menyakitkan, kini lewat lagu yang sejujurnya sedari lama lebih setia menemani dan lebih sabar menghibur dibanding dirimu, aku menulis kisah ini sebagai lapangnya hati karena telah rela membiarkanmu pergi dengan segala aktivitasmu. Lirik yang menjelma sebagai pesan bahwa ada raga yang sudah kuat untuk melaju dan hati yang sudah siap menerima cinta yang baru, semoga kisah selanjutnya dapat bahagia. Dan untukmu yang telah menancapkan beberapa kecewa, terima kasih kini prasasti peninggalanmu aku rawat sebagai tanda peringatan untuk berhati-hati dalam mengharap.

Aku disini, telah berbahagia.

Kau disana, semoga tetap bahagia

Share: