Pukul 19.11
Tepat saat adzan dikumandangan, kita sementara berpamit dalam pesan “jangan lupa sholat isya” waktu
itu dengan tambahan emotikon lucu senyum pipi merah merona, menandakan bahwa
kita sedang menjalin bahagia berjanji akan segera kembali. Terbawa suasana
selepas ibadah, aku berdiskusi dengan tuhan, memohon agar menjadikan dirimu
sebagai wanita pengisi waktu sampai akhir cerita hidup didunia selesai.
Jelasnya, aku berdoa kepada tuhan agar kau ditetapkan sebagai jodoh yang paling
tepat untuk diriku. Aku terlalu khusyuk berdoa sampai lupa memberi kabar
untukmu, aku menggapai ponsel dengan senyuman, namun seketika senyum itu kandas
ketika ada gejolak menengok status media sosialmu. Tepat sekali, pesan terakhir
dariku pun belum kau baca dan aku menemukan lara dalam sebuah poto yang kau
unggah, kau sedang bersanding ceria bersama lelaki lain, senyum tulus dari
kalian berdua mempercepat pembusukan dalam hati, diatas kain sajadah yang belum
di rapihkan aku masih terduduk dalam kecewa berat ditemani rapuh yang datang
tanpa isyarat, menempatkanku dalam risau berkepanjangan, menanyakan waktu pada
setiap kesibukan yang kau buat dengan bumbu kegembiraan, bersandar pada tuhan
semoga bahagia tetap terciptakan walau dirimu telah menghadirkan kekecewaan.
petala langit menumpuk kisah
Aku disini, kecewa.
Pukul 20.05
Aku masih ingat satu waktu ketika kau menggerutu karena pesanmu lama tidak
terbalas, emotikon cemberut yang kau sisipkan diakhir pesan adalah pertanda kepastian
bahwa hatimu sedang dongkol. Entah waktu itu aku malah tertawa kecil seolah
dongkolmu adalah hiburan kecil, kau seakan begitu takut kehilangan, seolah
tiada pria lain yang dilahirkan dibumi ini dari rahim ibu yang lain. Kita sudah
terbiasa berteman dengan aplikasi, saling membalas pesan dan bertukar rindu
untuk raga yang haus akan kabar adalah rutinitas pengisi hari, beberapa
aplikasi yang pernah kita singgahi kini menjadi saksi bisu sebuah perjalanan bahwa
ada rasa yang pernah di diami, aku terbuai delusi, kau menjauhi tatap mata kita
pada layar, memberi pesan pada status media sosialmu, iya, poto mesra itu yang
memberi pesan sekaligus cambukan kejam untukku, tepatnya untuk menyadarkanku
bahwa tidak perlu ada lagi harapan untuk pematah hati seperti dirimu. Terlintas
kesal mencoba marah, tetapi untuk apa membela hati yang belum pernah kita
miliki?, maka aku biarkan mimpi dan harapan tetap tumbuh dalam hati yang
semakin rapuh, kini kau sedang dengan asyiknya bertukar pesan dengan orang lain
atau parahnya kau sedang merencanakan untuk membunuh perasaan orang lain (lagi)
dengan awal memberi harapan palsu yang menjanjikan bahagia selamanya namun
tikaman penuh tenaga diakhir cerita.
Aku disini, kecewa.
Kau disana, berbahagia.
Aku disini, mendiami lara.
Kau disana, melangkah bersamanya.
Pukul 21.54
Lucunya kau hadir kembali dengan membalas pesan lalu yang sudah
terbengkalai dan sayangnya pesan itu sudah aku bersihkan dari menu pesan masuk,
iya aku tegaskan sekali lagi, seluruh pesan darimu telah sengaja aku hapus
dengan rasa kecewa yang masih meletup-letup, emosi kesal ini masih terpampang
jelas di hati. Namun sialnya masih ada secuil sayang yang mengendap di hati,
entah kenapa 50% emosi menjadi redup dengan cepat, memang kekuatan luar biasa
dari efek cinta, dan ternyata benar, obat paling
mujarab bagi luka hati adalah orang yang melukai, entah kenapa itu
benar nyatanya. Kemudian kita membalas pesan dengan renggang waktu yang lumayan
menyesak hela nafas, sekiranya begini, aku membalas secepat pesan darimu masuk,
kau membalas setelah pesan orang lain terbalaskan. Secepat kau meluluhkan hati
semudah itu ragaku kau tinggal pergi tanpa perduli. Atas rasa yang baru saja
kau benahi, kau meminta izin untuk segera lekas pergi, semudah itu kau bercakap
seolah rasaku padamu adalah ‘biasa saja’, aku berinisiatif mengirim pesan sok
puitis untuk menutup harimu dan untuk memulai mimpi diantara sela waktu tidur
lelapmu, dengan harapan kau bisa lebih mengerti akan perasaanku terhadap
dirimu, namun aku tidak mendapatkan satu pun balasan dari dirimu, pesan sok
puitis itu menggantung hebat pada penasaran akan suatu balasan, sungguh bagiku
adalah penutup pesan yang tidak mengenakan.
Aku disini, kecewa.
Aku disini, berpeluk nelangsa.
Kau disana, penuh rahasia.
Pukul 00.32
Hari baru bermula, waktu memekatkan rona malam gelap gulita. Tiba-tiba aku
terteguk ketika mendapati ponselku menerima notifikasi pesan baru, dan ternyata
itu darimu. Entah apa yang ada dipikiranmu saat itu, kau dengan mudahnya
memainkan hati yang padahal jelas telah berulang kali kau buat terluka, kau
memang mahluk yang memiliki sifat egosentris paling tinggi yang pernah ada di
dunia, aku berpura lewat basa-basi memberi pernyataan “sibuk
sekali dirimu tengah malam ini masih terjaga ternyata, aku kira kau sudah tidur
dengan lelap”, pertama kalinya kamu membalas dengan cepat, entah
teman spesialmu telah berpamitan untuk tidur atau masih menunggu dia mengetik
pesan panjangnya. Kamu membalas dengan memberi alasan bahwa tugas kuliah lah
yang membuatmu sibuk sampai larut malam, membalas untuk yang kesekian kali
bersiap menerima kecewa untuk hati. Centang dua biru pada pesan yang terkirim
memberi kesan bahwa kau memang mahluk tuhan dengan sifat egosentris tertinggi
yang ada di dunia.
Tertanda waktu menunjukan pukul 01.45 dini hari, iya waktunya mengistirahatkan
raga serta hati yang telah begitu lelahnya berjuang tanpa diperdulikan, memperioritaskan
seseorang yang tidak memperioritaskan kita adalah hal sederhana yang begitu
menyakitkan, kini lewat lagu yang sejujurnya sedari lama lebih setia
menemani dan lebih sabar menghibur dibanding dirimu, aku menulis kisah ini
sebagai lapangnya hati karena telah rela membiarkanmu pergi dengan segala
aktivitasmu. Lirik yang menjelma sebagai pesan bahwa ada raga yang sudah kuat
untuk melaju dan hati yang sudah siap menerima cinta yang baru, semoga kisah
selanjutnya dapat bahagia. Dan untukmu yang telah menancapkan beberapa kecewa,
terima kasih kini prasasti peninggalanmu aku rawat sebagai tanda peringatan
untuk berhati-hati dalam mengharap.
Aku disini, telah
berbahagia.
Kau disana, semoga
tetap bahagia