Rabu, 10 Januari 2018

Pelesir Tersier

Perasaan membawaku kerelung penantian penuh pengharapan, entah tawa yang berujung bahagia, atau rasa sakit yang berujung pahit, aku masih saja terduduk dipelataran, ditemani kepulan asap kopi yang masih menguap diantara bayang kenangan, juga rintik air hujan sebagai pertanda langit sedang dilanda pedih, ah sungguh teman yang sangat setia, bahkan keadaannya pun sama, aku merasakan apa yang langit rasakan, mengumpulkan semua uap panas dan menimbunnya ditempat yang disembunyikan, entah oleh perasaan entah oleh pengharapan, kemudian membuncah mengeluarkan segala isi dengan derai air yang jatuh berserakan.


Temaram langit senja mencirikan dirimu, indah namun perlahan menghilang | dipotret oleh @Luthfi


Sudah separuh hari langit tak berhenti menangis, mungkin luka yang dia rasakan teramat
perih, mungkin tangisan adalah satu-satunya cara membuatnya tenang, hingga tujuh warna berbeda muncul, berpendar indah menghiasi dan menghibur langit. Kemudian langit pun tersenyum riang dengan memunculkan mentari yang bersinar bebas menerangi semesta.

Seolah seperti dulu, kau menangis karenanya, datang kerumahku berharap mendapat hiburan dari kebersamaan kita. Masih ingat gerobak ice cream yang lewat di waktu itu?, kau berlarian diatas kubangan air bekas rintik hujan, merengek untuk dibelikan satu cup ice cream, aku masih ingat rasa yang paling kau sukai dari secorong ice cream, vanilla itulah rasa favoritmu, aku tidak akan melupakan rasa favoritmu itu, bagaimana bisa pula aku melupakannya, sebab aku pun sama, menyukai ice cream dengan rasa vanilla, ah memang rasa yang mengenakan.

Mungkin.

Sudah waktunya aku untuk berhenti memanjakan jiwa dan ragamu, membiarkan rengekanmu menggelegar mengalahkan bunyi gemuruh petir, sudah berapa jam kita melewatkan waktu bersama membahas nama yang kau banggakan selama ini, menceritakan segala kisah tentang kalian, tak perduli bahwa sebenarnya ada raga yang lebih bisa membahagiakan kamu disini, terlalu serius kau berbagi kisah padahal jelas sebelum senyummu merekah indah ada tangis yang tercipta karenanya, tawa yang dibiarkan mengalir masih memberi jarak atas rasa yang sudah berjuang.

Akhirnya.

Menyadari bahwa kau sudah melupakan kesedihan, lambat laun isak tangismu berhenti, perlahan terlihat jelas sedihmu berganti kebahagiaan, kau sudah lepas dari luka yang membelenggu, tertawa bebas memastikan bahwa kesedihanmu telah binasa, menghancurkan rantai yang sebelumnya amat menyiksa jiwa, kau berbahagia atas pencapaian itu, melupakan bahwa disini ada aku yang membuatmu bebas dari semua belenggu kesedihan.

Lingkup semesta menjadi saksi betapa sebuah tawa bahagia adalah awal kesedihan, membawa senyuman lalu perlahan masuk lewat keakraban duduk diruang kenyamanan, menyantap berbagai peristiwa sebagai wejangan awal pembuka dialog basa-basi, tersedak karena tak sepaham, lalu pulang dengan kekecewaan; kenyataannya logika sering pula kalah dengan perasaan, membuatku lelah untuk terus menerus menyerah dengan perasaan.

Aku menghitung denting gelas kopiku yang sudah dingin, ampasnya telah tenggelam dalam pekat, aromanya kian tak terasa oleh penciuman, kopi itu menjadi biasa saja, seperti rasamu padaku, awalnya kamu datang dengan kehangatan dan aroma wewangian tubuhmu selalu saja menjadi senjata agar tetap nyaman berada didekatmu, perlahan waktu memastikan bahwa masalahmu telah tenggelam kepaling dasar, membuang segala pahit melupakan semua sakit.

Seiring pamitmu dari hadapanku, kini biarkan aku menghabiskan sisa kopi yang terlupakan karena terlalu sibuk mencari solusi dari seluruh keluh kesah yang kau bagikan. Aku dan kopi serta kamu dengan dia, ya setidaknya kopi tidak lebih jahat darinya, tidak pernah membuat hujan dipelopak mata, tidak pernah menjanjikan harapan manis karena sedari awal kita sendiri yang menentukan kombinasi rasa dari secangkir kopi itu sendiri, kadang kopi hanya membuat mata lebih terbuka dan terjaga karena pahit yang dia beri; setidaknya itu adalah hal baik untuk menyadarkan kita dari pahitnya sebuah rasa, teguk saja dan nikmati saja rasa yang kau ciptakan sendiri, mungkin begitulah kopi berkata.

Aku mensyukuri kedatanganmu, sebab aku tak bisa menebak kapan hatimu akan dilukai kembali, dan kau tidak pernah perduli betapa seringnya hatiku kau hadiahi sakit hati, biarlah masalah perasaan tetap menjadi sebuah penghubung antara rasaku dan jatidiri hubungan kalian, kemudian biarlah patah hati menjadi penuntun pertemuan kita ditempat terbaik yang direncanakan. Semoga hatiku tetap kuat menerima dan pikiranku tetap pandai untuk menemukan solusi untuk semua masalahmu.


Sebab kita adalah pengembara yang dipertemukan oleh kehilangan jejak tujuan masing-masing.
Share: