Selasa, 12 Desember 2017

Adaktif Kelobotisme

Langit senantiasa melihatmu, melindungimu, bergurau kepadamu bahwa sebentar lagi ia akan merintik, namun kenyataannya tidak sama sekali, ia berbohong, dan kamu pun dengan mudahnya percaya, namun terkadang langit tiba-tiba mengguyur deras disaat matahari masih bersinar cerah, ada kalanya semua itu terjadi, langit memang seperti itu, sama sepertimu, setiap hal yang melekat pada dirimu tak bisa sepenuhnya dipercayai, kadang gurau masih tersimpan dibalik 99% rasa yang sudah hampir percaya, canda tawa yang kau berikan kadang tersirat luka didalamnya, bahagia yang dirasakan kadang berakhir dengan kesedihan, kau mahluk yang sangat sulit untuk ditelaah, dimengerti, atau dipahami, terlalu banyak kata analogi yang tak bisa aku mengerti.




Mendung teduh yang mencipta banyak kisah


 Layaknya awan, kau adalah properti semesta yang berharga.


Namun ketika kau tiba-tiba menghilang dari tatapku, kau selalu membuatku khawatir, menyebabkan aku selalu mengirim pesan berkali-kali, menelfonmu untuk hanya sekedar memastikan kabar pesonamu, namun tak satu pun dering telepon kau balas dengan suaramu, pesan yang aku kirim juga tak berbalas, bahkan untuk membentuk tanda bahwa pesan yang kukirim telah kau baca pun tidak ada, sampai akhirnya dilangit yang cerah kala itu, aku melihatmu sedang merajut bahagia dengan candaan sebagai bahan utamanya, kau bersamanya sedang dengan asyiknya saling bertatap dan diselingi gambaran raut bahagia, benar saja kau memang sedang bahagia, dan benar saja, aku sedang berdiri ditikam rasa sakit dalam hati, melihatmu bersenda gurau adalah jawaban paling tepat atas segala sakit yang aku dapat.

Layaknya burung, kau hanya hadir untuk menghiasi bukan mendampingi.

Kini dariku, aku ucapkan selamat berbahagia wahai hati yang tak bisa aku miliki, jangan sesekali kau urusi aku, soal sakit aku bisa menanganinya sendiri, semoga dia adalah alasan terbaik ketika kau pergi tanpa perbincangan, dia adalah jawaban atas seluruh pesan masuk yang tak terbalaskan, dia adalah alasan kenapa kau merelakan ponselmu berdering cukup lama agar tak terangkatnya panggilan dariku, aku sematkan kalimat pada pesan terakhir yang terkirim saat kau sedang berbagia, bahwa jangan mencariku ketika kau diberi sakit karenanya, jangan kembali ketika penyesalan sedang menggerogoti pikiranmu, relakan aku bahagia seperti aku merelakanmu bahagia, ihklaskan aku bersenda gurau seperti aku mengihklaskanmu memberikan lelucon kita dulu kepada sepasang telinga lain.

Kita terpisah dan mencipta jarak, disitu lah muara cerita bergejolak, adalah satu lelaki, awal mula ceritamu tak bisa terhenti, kita berada dibawah angkasa yang sama, namun kenyataannya atmosfer kita jauh berbeda, kau awal mula cerita yang kusangka akan bahagia, mengisi setiap tempat yang kosong sampai hari tua, dan menuliskan kata tamat ketika kita terpisahkan oleh maut di akhir hayat. Namun ditengah cerita yang sedang kita tulis kau memilih mengosongkan bab yang tersisa, membiarkan banyak lembaran yang belum tergores oleh tinta, kau memilih buku baru yang menurutmu lebih baik dan menarik untuk dituliskan cerita yang berbeda, seakan melupa bahwa kita pernah punya alur yang sama.

Pedih..

Nadiku berdenyut lirih..

Hatiku tak lagi terisi oleh namamu, jantungku tak lagi berdetak karenamu, pikiranku tak lagi tentang kamu, dan ceritaku tak lagi melulu soal namamu, kau masih sama, menyematkan pedih diantara bahagia, berhasil membuatku percaya dan kembali membuatku diam tak berdaya.

Rawatlah bahagiamu dengannya kelak semoga undangan pernikahanmu masih tertulis namanya.

Dan seperti pelangi, kau berpendar indah memberi bahagia namun hanya sementara, bukan untuk selamanya.
Share: