Langit senantiasa
melihatmu, melindungimu, bergurau kepadamu bahwa sebentar lagi ia akan merintik,
namun kenyataannya tidak sama sekali, ia berbohong, dan kamu pun dengan
mudahnya percaya, namun terkadang langit tiba-tiba mengguyur deras disaat
matahari masih bersinar cerah, ada kalanya semua itu terjadi, langit memang
seperti itu, sama sepertimu, setiap hal yang melekat pada dirimu tak bisa sepenuhnya
dipercayai, kadang gurau masih tersimpan dibalik 99% rasa yang sudah hampir
percaya, canda tawa yang kau berikan kadang tersirat luka didalamnya, bahagia
yang dirasakan kadang berakhir dengan kesedihan, kau mahluk yang sangat sulit
untuk ditelaah, dimengerti, atau dipahami, terlalu banyak kata analogi yang tak
bisa aku mengerti.
Mendung teduh yang mencipta banyak kisah
Layaknya awan, kau adalah
properti semesta yang berharga.
Namun ketika kau tiba-tiba
menghilang dari tatapku, kau selalu membuatku khawatir, menyebabkan aku selalu mengirim
pesan berkali-kali, menelfonmu untuk hanya sekedar memastikan kabar pesonamu,
namun tak satu pun dering telepon kau balas dengan suaramu, pesan yang aku
kirim juga tak berbalas, bahkan untuk membentuk tanda bahwa pesan yang kukirim
telah kau baca pun tidak ada, sampai akhirnya dilangit yang cerah kala itu, aku
melihatmu sedang merajut bahagia dengan candaan sebagai bahan utamanya, kau
bersamanya sedang dengan asyiknya saling bertatap dan diselingi gambaran raut
bahagia, benar saja kau memang sedang bahagia, dan benar saja, aku sedang
berdiri ditikam rasa sakit dalam hati, melihatmu bersenda gurau adalah jawaban
paling tepat atas segala sakit yang aku dapat.
Layaknya burung, kau hanya hadir
untuk menghiasi bukan mendampingi.
Kini dariku, aku ucapkan selamat
berbahagia wahai hati yang tak bisa aku miliki, jangan sesekali kau urusi aku,
soal sakit aku bisa menanganinya sendiri, semoga dia adalah alasan terbaik
ketika kau pergi tanpa perbincangan, dia adalah jawaban atas seluruh pesan
masuk yang tak terbalaskan, dia adalah alasan kenapa kau merelakan ponselmu
berdering cukup lama agar tak terangkatnya panggilan dariku, aku sematkan
kalimat pada pesan terakhir yang terkirim saat kau sedang berbagia, bahwa
jangan mencariku ketika kau diberi sakit karenanya, jangan kembali ketika
penyesalan sedang menggerogoti pikiranmu, relakan aku bahagia seperti aku
merelakanmu bahagia, ihklaskan aku bersenda gurau seperti aku mengihklaskanmu
memberikan lelucon kita dulu kepada sepasang telinga lain.
Kita terpisah dan mencipta
jarak, disitu lah muara cerita bergejolak, adalah satu lelaki, awal mula
ceritamu tak bisa terhenti, kita berada dibawah angkasa yang sama, namun
kenyataannya atmosfer kita jauh berbeda, kau awal mula cerita yang kusangka
akan bahagia, mengisi setiap tempat yang kosong sampai hari tua, dan menuliskan
kata tamat ketika kita terpisahkan oleh maut di akhir hayat. Namun ditengah
cerita yang sedang kita tulis kau memilih mengosongkan bab yang tersisa,
membiarkan banyak lembaran yang belum tergores oleh tinta, kau memilih buku
baru yang menurutmu lebih baik dan menarik untuk dituliskan cerita yang
berbeda, seakan melupa bahwa kita pernah punya alur yang sama.
Pedih..
Nadiku berdenyut lirih..
Hatiku tak lagi terisi oleh
namamu, jantungku tak lagi berdetak karenamu, pikiranku tak lagi tentang kamu,
dan ceritaku tak lagi melulu soal namamu, kau masih sama, menyematkan pedih
diantara bahagia, berhasil membuatku percaya dan kembali membuatku diam tak
berdaya.
Rawatlah bahagiamu dengannya
kelak semoga undangan pernikahanmu masih tertulis namanya.
Dan seperti pelangi, kau berpendar indah memberi bahagia namun hanya sementara, bukan untuk selamanya.
Dan seperti pelangi, kau berpendar indah memberi bahagia namun hanya sementara, bukan untuk selamanya.